
Oleh : Cherlly Octavia
Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, mendapat kritik tajam di media sosial setelah menyampaikan pidato dalam acara Konferensi Besar (Konbes) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) 2024 pada Jumat (13/12/2024). Dalam pidatonya, Gibran menyapa peserta Konbes dengan sebutan para-para yang diucap berulang kali. “Yang saya hormati, tokoh-tokoh, para-para tokoh agama, para-para kiai, para-para ibu nyai, yang hadir pada pagi ini,” ujar Gibran. Padahal, kata para cukup disebutkan sekali saja karena sudah bermakna jamak.
Warga internet atau biasa disingkat warganet di berbagai media sosial menyoroti secara serius kesalahan Gibran dalam menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Banyak warganet berkomentar menyayangkan hal tersebut dan mengungkapkan kekecewaannya. Perilaku tidak berbahasa Indonesia yang baik dan benar tidak seharusnya dilakukan oleh seorang Wakil Presiden. Sebagai Wakil Presiden, Gibran seharusnya memberikan contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar kepada masyarakat.
Kejadian tersebut sebenarnya mencerminkan fenomena yang tengah terjadi di masyarakat. Seiring derasnya arus globalisasi, khususnya dalam penyebaran berbagai bahasa di dunia, penggunaan dan kebiasaan berbahasa Indonesia yang baik dan benar sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Sebut saja kebiasaan keminggris di kalangan masyarakat Indonesia. Semakin banyak penggunaan padanan dalam bahasa Inggris menyebabkan beberapa istilah dalam bahasa Indonesia mulai ditinggalkan. Misalnya, banyak orang lebih memilih mengatakan laundry daripada penatu, basement daripada rubanah, real estate daripada lahan yasan, serta download dan upload daripada unduh dan unggah. Bahkan, sebagian orang mungkin sudah lupa bahwa padanan kata tersebut sebenarnya ada dalam bahasa Indonesia.
Media sosial saat ini dipenuhi dengan penggunaan bahasa asing dan slang yang sering kali mencampuradukkan bahasa Indonesia. Fenomena ini membuat generasi muda cenderung mengesampingkan pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Misalnya, di platform digital seperti Instagram dan TikTok, sedang tren penggunaan frasa seperti
“vibes”, “literally”, atau “chill”. Padahal, dalam bahasa Indonesia terdapat padanan kata yang memiliki makna serupa dan dapat digunakan.
Memang, banyak padanan-padanan dalam bahasa Indonesia yang menyerap dari bahasa asing sehingga sering kali membuat masyarakat lupa dengan padanan asli bahasa Indonesia. Namun, adanya anggapan seperti “Orang Indonesia mah buat apa lagi belajar bahasa Indonesia?” justru sangat memprihatinkan. Pandangan seperti itu mencerminkan kurangnya apresiasi masyarakat Indonesia terhadap bahasa sendiri. Ditambah lagi, penggunaan beberapa bahasa populer seperti bahasa Inggris, Arab, Korea, Jepang, dan lain sebagainya semakin masif di Indonesia. Jika tidak diimbangi dengan upaya pelestarian dan penggunaan aktif bahasa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan, maka keberadaan bahasa Indonesia akan semakin terpinggirkan di negaranya sendiri.
Sebenarnya sejak Sumpah Pemuda tahun 1928, bahasa Indonesia telah menjadi simbol kebanggaan nasional serta alat pemersatu berbagai suku dan budaya di Indonesia. Bahasa Indonesia berperan penting sebagai bahasa persatuan yang menyatukan keanekaragaman 718 bahasa daerah. Di beberapa negara, perbedaan 2-3 bahasa bahkan bisa menjadi ancaman pecahnya sebuah negara. Namun, menariknya, Indonesia mampu menjembatani perbedaan bahasa di masyarakatnya hanya dengan penggunaan satu bahasa, yakni bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat mendukung komunikasi yang jelas dan efektif. Di era digital yang serba cepat, komunikasi yang buruk dapat memicu kesalahpahaman dan penyebaran berita palsu. Menurut survei Kominfo, sekitar 59% berita palsu tersebar melalui media sosial. Keterampilan berbahasa yang baik dapat membantu masyarakat memahami dan memilah informasi dengan lebih cermat, sekaligus mencegah penyebaran berita palsu.
Bahasa Indonesia juga berperan penting dalam meningkatkan literasi digital. Saat ini, masyarakat tidak hanya dituntut untuk mengonsumsi informasi saja, tetapi juga menghasilkan konten secara kritis dan bertanggung jawab. Dengan pemahaman bahasa Indonesia yang baik, masyarakat dapat lebih percaya diri untuk berkontribusi di platform digital melalui konten yang informatif dan berkualitas.
Apa solusi dapat dilakukan agar masyarakat Indonesia kembali berbahasa Indonesia dengan baik dan benar? Salah satu solusinya adalah menerapkan pendidikan bahasa yang terintegrasi dengan literasi digital. Anak-anak perlu diajarkan untuk menghargai bahasa Indonesia, tidak hanya sebagai mata pelajaran di sekolah, tetapi juga sebagai alat untuk mengekspresikan ide dan kreativitas.
Anak-anak perlu didorong untuk menciptakan konten digital yang kreatif dan relevan dalam bahasa Indonesia. Semakin banyak konten berkualitas dalam bahasa Indonesia, maka akan semakin besar motivasi masyarakat untuk mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Salah satu contoh konten digital dalam bahasa Indonesia yang sukses adalah serial animasi lokal seperti Nussa dan Rara, yang tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik serta mampu bersaing di tingkat internasional.
Kampanye kesadaran berbahasa Indonesia di media sosial juga perlu digencarkan untuk mengajak warganet menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap unggahan mereka. Selain itu, menghidupkan sastra dan jurnalisme digital dalam bahasa Indonesia juga sangat penting agar masyarakat lebih terbiasa membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia, baik dalam bentuk cerita fiksi, esai, maupun karya lainnya.
Bahasa Indonesia adalah warisan berharga yang tidak boleh diabaikan, bahkan di era digital dan kecerdasan buatan. Sebagai alat komunikasi, media literasi, dan identitas bangsa, bahasa Indonesia tetap relevan dan penting untuk dipelajari. Bahkan, saat ini, semakin banyak penutur asing yang mulai mempelajari bahasa Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa bahasa Indonesia memiliki nilai tinggi di mata dunia. Maka, alih-alih meremehkan, masyarakat Indonesia seharusnya merasa bangga dan terus berupaya memperkaya kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Tantangan yang timbul akibat globalisasi dan kemajuan teknologi hendaknya dihadapi dengan semangat kolaborasi dan inovasi. Menjaga bahasa Indonesia bukan berarti menutup diri dari bahasa asing, melainkan memastikan bahwa bahasa Indonesia tetap memiliki posisi yang kuat di era modern. Dengan demikian, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga memanfaatkan peluang global sambil mempertahankan identitas yang kuat. Fenomena Wakil Presiden yang belum menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam forum formal bisa jadi adalah puncak dari minimnya kesadaran masyarakat dalam memperhatikan bahasanya. Oleh karena itu, edukasi dan pembelajaran bahasa Indonesia perlu dilakukan sebaik mungkin sejak dini. Jadi, mulai saat ini, mari bersama-sama menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia, sambil tetap melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.